Tulisan ini digoreskan dalam rangka ikut bela sungkawa terhadap salah satu saudara kita yang ditimpa musibah secara beruntun. Digoreskan dalam usaha untuk ikut menghibur kesedihan yang merundungnya.

Saya melihat, bahwa musibah duniawi yang menimpa kita adalah sesuatu yang lumrah . Artinya sesuatu yang sangat wajar dan pasti akan di derita oleh setiap orang, karena semua orang yang hidup ini, pasti mengalami suka dan duka dalam kehidupan ini, dan dia tidak bisa menolaknya. Justru yang patut kita pikirkan adalah bagaimana musibah tersebut tidak menimpa agama kita, tidak menimpa kepada konsisten kita terhadap ajaran Allah dan tuntutan Rosulullah saw.

Dalam suatu hadits disebut do’a yang berbunyi :

“ Ya Allah janganlah Engkau timpakan musibah ini atas agama kami “

Ini menunjukkan bahwa do’a dan permohonan kita kepada Allah hanyalah dibolehkan pada masalah akherat saja , kalaupun meminta dunia , itupun harus ada kaitannya dengan akherat, seperti meminta rizki yang penuh berakah yaitu rizki yang menunjang peribadatan kita kepada Allah, meminta istri yang sholehah, yaitu istri yang mendukung kita di dalam melaksankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, meminta umur panjang yang selalu di isi dengan kebaikan- kebaikan dan lain-lainnya.

Dalam sisi lain, musibah yang mengenai seseorang , janganlah diartikan sebuah malapetakan yang memupuskan harapan, melemahkan semangat dan menghancurkan kehidupan. Tapi justru jadikanlah musibah atau kesempitan tersebut menjadi sebuah kesempatan, jadikanlah air mata yang menetes menjadi keringat yang mengalir. Orang-orang besar , mereka menjadi besar karena mereka merubah kesempitan yang melilit mereka menjadi sebuah kesempatan. Mereka melihat bahwa musibah justru merupakan sebuah tahapan menuju kepada kesenangan dan kesesuksesan . Nabi Yusuf as, beliau menjadi seorang Mentri yang memerintahkan Mesir dengan adil, setelah melalui berbagai musibah dan tantangan. Bahkan musibah yang menimpanya di waktu kecil, di saat ia dibuang di sumur dalam sebuah hutan, kemudian penjara yang dihuninya, justru itulah yang mengantarkan dia pada kejayaan dan kesuksesan. Nabi Muhammad saw , sewaktu kecil sudah di tinggal oleh kedua orang tuanya, kemudian orang –orang yang dicintainya satu persatu meninggalkannya di saat mereka sangat dibutuhkan untuk membantu dan menguatkan dakwahnya. Tapi justru kejadian tersebut , berubah menjadi bekal untuk memperkuat jiwa beliau di dalam menghadapi ujian- ujian dan tantangan dakwah sehingga mengantarkan kepada kesuksesan beliau di dalam menyebarkan Risalah Islam. Lain lagi yang dialami oleh seorang direktris sebuah Perusahan ternama di Indonesia, musibah yang menimpa keluarganya, yaitu salah satu anak kesayangannya yang baru berumur dua tahun, tiba-tiba jatuh sakit terkena demam berdarah, dan tim dokter telah menvonisnya dia akan mati… musibah yang membuatnya selalu tertekan itu,justru mampu merubahnya menjadi musibah yang membawah bekah dan hidayah. Merubahnya dari gaya hidup yang jahiliyah menjadi seorang muslimah yang hidup di lautan hidayah, merubahnya dari seorang yang tidak peduli dengan Islam menjadi seorang yang gigih memperjuangkan tegaknya Syareat Islam. Kejadian tersebut mengingat saya pada firman Allah swt : “ Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal sesuatu yang engkau benci itu, adalah sesuatu yang lebih baik ( bagi kehidupannmu )“ .

Dalam suatu hadits di sebutkan bahwa kesusahan dan ujian yang menimpa manusia sangatlah relatif, semakin besar keimanan dan bobot seseorang, makin makin besar pula ujiannya. Ketika terjadi musim paceklik, para sahabat mengangganjal satu batu di perutnya untuk menahan rasa lapar yang luar biasa, dan Rosulullah saw sendiri ternyata mengganjal dua batu di perutnya . Ini menunjukkan bahwa penderitaan yang dialami oleh Rosulullah saw jauh lebih berat di banding yang dialami oleh orang lain. Semakin tinggi bangunan pencakar langit , maka semakin pula besar angin yang menimpa dan semakin besar kemungkinan akan terkena petir. Semakin tinggi layar kapal yang dikembangkan di udara, maka akan semakin besar pula anging yang menerpanya.

Orang yang besar akan menjadikan ujian dan musibah tersebut sebagi peluang dan kesempatan untuk meraih kesuksesan. Dalam sebuah teori di sebutkan bahwa orang yang berada dalam keadaan yang terpepet , terjepit dan susah, cenderung untuk berpikir keras dan mengolah otak untuk keluar dari keadaan tersebut, dari situ terbukti bahwa dalam keadaan sempit justru pandangan- pandangan cemerlang dan inisiatif-inisiatif jitu bermunculan. Lihat saja umpamanya, kaum Tsamud yang hidup di pegunungan yang berbatuan, mereka sanggup membuat rumah- rumah dari batu di tepi-tepi gunung, orang –orang Afghanistan dan Pakistan yang sanggup membuat rumah dari tanah liat yang dingin dan sejuk , dan jauh dari sengatan matahari. Orang – orang yang hidup di pedesaan dan di hutan- hutan justru menemukan kehidupan mereka dari makanan dan minuman bahkan dari obat-obat yang berasal dari tumbuh- tumbuhan alami yang mungkin jauh lebih manjur dari obat yang terbuat dari kimia.

Bangsa Jepang yang hancur luluh karena dua bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima, tidaklah pemisis terhadap masa depannya, tapi justru dengan keadaan tersebut , mereka bekerja lebih ulet dan tekun sehingga dalam waktu hanya kurang dari lima puluh tahun telah mampu menggulungi negara- negara Asia lainnya yang mungkin sebelumnya, keadaannya jauh lebih baik darinya, bahkan mampu bersaing dengan negara- negara maju di seluruh dunia. Bahkan kekuatan ekonomi dan teknologinya sangat diperhitungkan oleh dunia internasional. Amerika sendiri mampu memproduksi berbagai alat mutakhir dan modern, karena tuntunan lingkungan alamnya yang menantang dan banyak rintangan . Maka bermuncullah mobil – mobil model baru yang yang bisa menembus luasnya padang pasir , mobil yang bisa melewati jalan- jalan terjal di gunung , mobil yang tahan gelinciran di jalan- jalan yang licin, mobil yang dilengkapi sinar tembus cahaya dan lain-lainnya.

Begitu juga Yahudi, sebuah bangsa kecil yang mengalami penindasan selama ribuan tahun, kemudian berhasil survive dan bahkan menjadi salah satu kekuatan dunia. Di Eropa, walaupun Yahudi mengalami pembantaian yang panjang, tetapi prestasi mereka di bidang sains dan ekonomi, sungguh sangat menakjubkan. Tahun 1900, populasi Yahudi di Jerman adalah 497.000 atau 0,95% dari 50.626.000 penduduk Jerman. Setelah 30 tahun, tepatnya pada tahun 1930-an, kita mendapatkan 30% pemenang Nobel di Jerman adalah Yahudi.

Setelah kejadian 11 September 2001 , Umat Islam yang tinggal di Amerika dan Australia dan di negara- negara Barat lainnya , dimana mereka mendapatkan tekanan- tekanan , tindakan intimidasi dan dsikrimitasi dari orang – orang yang tidak senang dengan Islam , justru keadaan yang sangat menyesakkan perasaan tersebut tidak membuat umat Islam di sana ciut dan putus asa, justru mereka , terutama yang ada di Jaliyat ( Islamic Centre ) memanfaatkan meomentum semacam ini untuk menerangkan hakikat ajaran Islam kepada orang – orang non muslim , dan yang terjadi sungguh sangat menakjubkan , banyak orang – orang Barat yang tadinya benci dan tidak tahu dengan Islam, justru berbondong- bondong masuk Islam..subhanallah…..

Bahkan jauh sebelumnya, pada ratusan tahun yang silam, Rosulullah saw ketika mendapatkan tekanan dan intimidasi serta siksaan dari orang – orang kafir Qurays , tidaklah begitu saja menyerah, tapi berbagai jalan di tempuhnya untuk mencari jalan keluar. Beliau menyebarkan para pengikutnya di luar Mekkah, diantaranya adalah di Habasyah. Kemudian beliau sendiri pergi ke Thoif untuk menyebarkan dakwah , walaupun di sana yang beliau dapatkan justru malah cacian, tekanan dan cemoohan dan lemparan batu, beliau tetap tegar dan terus berjuang menyebarkan Risalah Islam tersebut melalui orang – orang di luar Mekkah yang berdatangan untuk melakukan ibadat haji, sehingga Allah memberikan jalan keluar dengan adanya para penolong, yaitu kaum Anshor yang datang dari Madinah , sehingga akhirnya kota tersebut dijadikan basis kekuatan Islam sepanjang sejarah.

Kejadian – kejadian tersebut mengingatkan pada saya akan teori manajement yang sering di sebut sebuah analisa yang menggunakan teori “ SWOTE ANALYSIS “ , yaitu : Strength ( kekuatan ), Weakness ( kelemahan ) Opportunity ( kesempatan ), Threats ( Ancaman / hambatan ) dan Environment ( Lingkungan ) . Artinya bagaimana seseorang dituntut untuk mampu menjadikan weakness ( kelemahan ), threats ( halangan ), bahkan enveronment (lingkungan ) yang ada menjadi sebuah oppurtunity ( kesempatan ) .

Dalam suatu mahfudhot yang sering saya dengar dari beberapa ustadz yang mengajar di pesantren :

“ Intahiz Al Furoz wahdzar min fautiha fa inna al fauza fi intihazih Al furoshi “

( gunakan kesempatan sebaik- baiknya dan jagalah, jangan sampai dia berlalu , karena sesungguhnya keberhasilan terletak pada pemanfaatan kesempatan )

Dalam lembaran-lembaran ayat suci Al Qur’an, ternyata kita dapatkan bahwa rahasia kesuksesan seseorang dan kemajuan suatu bangsa terletak pada dua kekuatan, yaitu : keyakinan dan kesabaran di dalam menghadapi tantangan- tantangan dan ujian hidup dunia ini. Allah berfirman :

“ Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar Dan ketika mereka menyakini ayat-ayat Kami “ ( QS As Sajdah 24 )

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bisa didapat –paling tidak- dengan dua hal : kesabaran dan keyakinan terhadap apa yang mereka jalani.

Bahkan kaum Bani Israelpun ( ketika mereka mengikuti ajaran para nabi ) mendapatkan pujian dari Allah, karena kesabaran mereka, Allah berfirman :

“ Dan sungguh telah sempurna kalimat Robb-mu yang baik kepada Bani Isreal disebabkan karena kesabaran mereka “ ( Qs Al A’raf : 137 )

Ayat diatas mengisyaratkan kepada kita , bahwa siapa saja yang bersabar di dalam mengarungi bahtera kehidupan ini dan bersabar di dalam menempuh cita- citanya, niscaya akan berhasil, baik itu dilakukan oleh orang – orang Islam maupun non Islam. Jalan inilah yang telah ditempuh oleh tokoh – tokoh Barat, sebagai contoh sebut saja Thomas A. Edison , seorang tokoh yang berjasa pada dunia, karena menemukan listrik pertama kali. Dia sebelumnya hanyalah penjual koran di gerbong- gerbong kereta api, bahkan dia adalah seorang yang tuli, namun dengan kesungguhannya dia mampu menyumbangkan kepada dunia sesuatu yang sangat bermanfaat. John D. Rockefeller seorang tokoh dunia, ternyata hidupnya hanya dengan upah enam dollar perminggu. Julius Caesar sang penemu operasi Caesar, yang banyak membantu para ibu yang melahirkan anak dengan cara yang mudah dan praktis, ternyata pernah menderita penyakit ayan. Napoleon, sang penakluk dunia dari perancis, ternyata orangnya pendek dan kecil, bahkan dia hanya keturunan dari orang tua yang mempunyai kelas rendahan dan jauh dari katagori cerdas. Beethoven, seorang tokoh yang ternyata juga menderita penyakit tuli. Plato, seorang ahli mantiq yang dijadikan rujukan orang- orang sesudahnya ternyata berpunggung bungkuk. Sedangkan Stephen Hawkins adalah seorang yang lumpuh . Apa yang memberi orang- orang besar ini stamina untuk mengatasi kekurangan mereka yang cenderung di bawah rata- rata ini menjadi orang- orang yang sukses ?

Kalau kita pernah berjalan- jalan ke Mesir, tentunya akan berdecak kagum ketika melihat banyak dari pelajar, mahasiswa dan ulama kaliber internasional yang sejak kecilnya cacat kakinya, atau buta matanya. Tapi mereka tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang mereka derita. Mereka tetap semangat di dalam menempuh cita-cita mereka. Sering saya melihat mereka naik turun tangga kuliyah sampai empat tingkat hanya dengan merangkak. Tentunya kita kasihan melihat keadaan mereka seperti itu, sekaligus tergeleng-geleng kepala melihat kegigihan mereka. Merekapun ikut berjejal-jejal di jalan- jalan raya dan di bus-bus dengan penumpang lainnya yang badan mereka sehat dan sempurna. Mereka tidak pernah merasa rendah diri sama sekali. Mereka menatap masa depan mereka dengan penuh optimis dan keyakinan. Maka tak ayal, tidak sedikit dari mereka yang jauh lebih unggul dan sukses dibandingkan dengan orang orang yang sempurna dan sehat.

Sejarah Islampun mencatat bagaimana sebuah musibah yang menimpa pasukan Islam, merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga sekali bagi keutuhan dan kelangsungan proses dakwah dan perjuangan umat Islam . Kekalahan yang di derita pasukan Islam dalam perang Uhud umpamanya, merupakan peristiwa yang di dokumenkan Allah di dalam Al-Qur’an kira-kira dalam 40 ayat , yaitu seperlima dari surat Ali Imron secara keseluruhan.

Ini menunjukkan betapa penting kita mengambil pelajaran dan hikmah dari suatu kejadian ataupun musibah yang mengenai diri kita. Banyaknya ayat yang menjelaskan kekalahan itu , bukan untuk selalu kita tangisi dan kita ratapi, akan tetapi untuk memberikan pelajaran yang berarti dan sangat banyak bagi umat Islam hingga akhir zaman. Al Qur’an mendokumentasikan kejadian tersebut untuk menjelaskan kepada umat Islam sebab- sebab kekalahan yang mereka derita, dan hikmah dari kehendak Allah untuk menimpakan kekalahan sementara atas umat Islam. Allah ingin mengajarkan umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan – kesalahan yang mereka perbuat dalam perang Uhud di masa- masa mendatang. Agar umat Islam menyakini bahwa kemenangan hanya datang dari Allah semata. Oleh karenanya, hendaknya mereka semata-mata untuk bertawakal dan menyandarkan segala-galanya kepada-Nya semata. Yang wajib dikerjakan oleh umat Islam hanyalah berusaha mengerjakan perintah Allah menurut kemampuannya dengan selalu terus mentaati Allah dan Rosul-Nya, niscaya kemenangan- kemenangan selanjutnya akan dapat di raih.

Beberapa banyakah sekarang dari umat Islam yang mau merenungi musibah- musibah yang ada, baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa umat Islam secara keseluruhan , untuk kemudian mengambil pelajaran darinya, selanjutnya dijadikan bekal di dalam menghadapi tantangan – tantangan hidup selanjutnya ?

Masyarakat sekarang menyatakan kegelisahannya sudah tidak ada cara lagi yang lebih efektif. Kata orang, cara presure lebih ampuh yakni unjuk rasa, dan seterusnya. Namun ternyata cara seperti itu sekarang, tidak lagi ampuh. Malah ketika ada unjuk rasa, selalu dicibir orang. Jangankan memberikan presure, malah sebaliknya. Kata orang, lebih efektif ditulis di media masa.

Ternyata hal itu juga kurang mendapatkan respon, baik dari pengelola pemerintah maupun elemen masyarakat. Mungkin sekarang bisa dianggap kekebalan tubuh dan isi kepala sudah demikian kebal. Tidak pernah sensitif lagi terhadap keluh kesah masyarakat. Jangankan sensitif, mungkin gatel juga enggak, atau malah memikirkan masyarakat juga enggak.

Dan mungkin saja, yang dipikirkan hanya bagaimana diri kita terbebas dari kemiskinan itu sendiri. Hal yang terjadi kepada masyarakat. Tatanan yang bertahun-tahun dibangun, bagaimana merasakan sikap tepo sliro, senasib dan sepenanggungan. Bagaimana kita diajarkan gotong royong. Begitu pula agama, mengajarkan bagaimana habluminanas dan habluminallah.

Seluruh teori tentang kebaikan kini menjadi teks-teks yang tidak pernah dibaca ulang lagi. Teks-teks itu kini tersimpan di laci meja dan entah kapan lagi akan dibuka secara utuh sempurna. Dikembalikan pada habitatnya bahwa teori kebaikan, bukan semata-mata teori tapi tingkat implementasinya.

Seperti halnya sekarang, masyarakat sedang dihadapkan pada kesulitan beras. Beras harganya terus melambung, bahkan mungkin terlalu mahal untuk ukuran masyarakat Kabupaten Kuningan yang kian terpuruk. Sementara pendapatan semakin minim, bahkan konon menurut kabar sudah hampir lima bulan masyarakat kesulitan memeroleh uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kadang kita tidak habis pikir. Konon katanya negara kita, daerah kita adalah daerah agraris. Hidupnya menggantungkan pada hasil-hasil pertanian. Setiap daerah mengklaim bahwa terjadi pertumbuhan signifikan dalam bidang agraris. Sehingga terjadi perkembangan manjadi agribisnis, agrowisata dan seterusnya. Hal itu menjadi buah bibir di setiap kalangan masyarakat.

Namun hasil gembar-gembor itu apa? Ternyata hasilnya nol besar. Bahkan bisa dikatakan di bawah limit minus. Anggapan ini bukan sebuah kenyinyiran, tapi fakta dan realita di lapangan tidak menggambarkan gembar-gembor itu. Sebab fakta dan realitas di lapangan adalah gambaran jujur dari sebuah program kerja. Apakah berhasil atau tidak. Pertanian yang yang menjadi jargon selama ini ternyata hanya lips servis alias pemanis bibir saja.

Buktinya, harga beras begitu mahal di daerah agraris. Padahal daerah agraris tentu harga beras bukan jadi soal karena seluruh masyarakat mampu memroduksi beras dalam jumlah besar dan hasilnya masyarakat tidak harus membeli beras lagi. Andaikan harus membeli harganya pun tidak seperti sekarang. Sekarang diakui atau tidak, masyarakat kita pembeli atau mengonsumsi beras bukan penghasil.

Ketika menjadi konsumen beras, maka beras hanya dimiliki oleh segelintir orang. Beras hanya dikuasi oleh beberapa orang. Nah beberapa orang inilah yang menentukan harga. Jika harga sudah ditentukan, tentunya masyarakat sebagai konsumen harus mematuhi kehendak si pemilik. Maka harga beras setinggi langit pun harus dibeli, karena masyarakat kita memang belum mampu menggati beras dengan barang lainnya.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah ternyata tidak berdaya dengan realitas di lapangan bahwa beras memang sudah menjadi barang lux. Beras sebagai impian dari program swasembada pangan yang konon katanya telah berhasil. Negara kita penghasil beras dan kerap menjadi importir beras. Namun kenyataan sekarang, kita menjadi pengimpor beras kelas utama.

Kita kalah dari Vietnam, kita kalah dari Philipina, begitu pun Singapura yang tidak memiliki lahan pertanian. Kita sekarang telah menjadi bangsa yang kalah di segala bidang. Bangsa kita memang tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain di dunia. Jangankan di dunia, di asia tenggara saja. Kita sudah kedodoran, tidak mampu menyejajarkan secara sempurna

Beberapa saat lalu, saya baru saja selesai menyaksikan acara spesial Ramadhan Khazanah Reliji Nusantara di Metro TV. Selain dua host yaitu Ratih Sanggarwati dan siapa itu, saya lupa, episode Jum’at ini, juga menghadirkan tokoh betawi – Ridwan Saidi.

Sesuai dengan tema dan tamu yang ada, acara ini tentu saja membahas tentang afiliasi budaya betawi dengan Islam. Bagaimana warna Islam di Indonesia, segala pengaruhnya dan keunikannya. Karena walau bagaimana, TERNYATA kita tidak bisa membawa memaksa warna yang sama pada kanvas yang berbeda.

Saya jarang bisa memfokuskan diri pada acara berformat talkshow dengan pembicaraan serius seperti ini sebenarnya. Tapi kali ini, saya terpesona. Si bapak, Ridwan Saidi, begitu mendalami budayanya, memahami kenapa harus begitu tanpa terjebak dalam konteks pokoknya ini budaya saya. Beliau begitu mengenal segala tetek bengek keunikan, hingga unsur terkecil lainnya dalam budaya betawi.

Misalnya saja, tradisi roti buaya saat perkawinan betawi, ternyata berasal dari dari legenda adanya sepasang buaya yang selalu menjaga setiap pertemuan kali atau sungai. Dengan roti buaya, diharapkan pasangan pengantin akan selalu serasi seperti pertemuan dua sungai, peduli banjir atau kemarau, pertemuan sungai akan selalu ada, iya kan?

Atau juga tradisi membakar petasan saat ada acara keramaian seperti perkawinan, selamatan, menyambut orang datang haji, atau pesta lainnya. Kita, anak-anak modern mungkin menilainya sebagai perlambangan sifat takabur, membuang uang, dan pandangan khas orang modern lainnya.

Ternyata, menurut Pak Ridwan Saidi, tradisi membakar petasan saat mengadakan acara di betawi dimulai pada suatu masa, ada perayaan pernikahan besar. Namun si tuan tumah lupa mengundang salah seorang tokoh paling disegani di kampungnya. Kejadian ini membuat suasana kampung tidak kondusif dan ada friksi ketersinggungan antar kedua belah pihak. Sejak kejadian ini, maka setiap ada pesta dibakarlah petasan sebagai tanda seluruh orang yang mendengar bunyinya berarti diundang ke perayaan tersebut.

Luhur sekali bukan? Sebuah tradisi yang berdasarkan pada keinginan untuk menghindari masalah.

Tapi saya bukan ingin membahas tentang budaya betawi. kita serahkan saja pada Pak Ridwan Saidi ini.

Saya hanya ingin mendeklarasikan perubahan mindset saya.

Saya, jujur saja, adalah orang yang memandang remeh budaya lokal. Lokal banjar maupun Indonesia. Saya cenderung kecewa dengan oknum pelaku yang mengaku budayawan namun selalu mengeluhkan kesulitan dana kepada pejabat korup. Dana didapat, festival budaya tak kunjung terlaksana.

Saya juga kerap marah, protes kenapa saya dilahirkan di negeri ini. Negeri dengan sejuta lupa, sejuta kebohongan, sejuta permakluman, sejuta kesalahan.

Namun saya ternyata lupa (tuh kan, lupa, orang indonesia seh!), Bukan budayanya yang salah, bukan tanah yang saya injak, bukan udara yang saya masukkan ke paru-paru saya, bukan air yang saya minum, tapi manusianya.

Saya yang salah.

Saya tidak memahami KENAPA. Saya hanya melihat APA, SIAPA dan BAGAIMANA.

Saya dengan ini berjanji, akan mencoba lagi memahami budaya negeri saya ini. Belajar mencintainya, dan seperti semua pencinta, saya akan melindunginya dengan segenap kemampuan saya.
– repost dari manusiasuper